KH Abdullah Hadziq Balekambang, Ulama Zuhud, Guru Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan
KH. Abdullah Hadziq adalah penerus pertama pesantren Balekambang setelah pendiri atau ayahnya mbah Hasbullah wafat. Ia dikenal dengan sosok yang wira’i dan zuhud terhadap dunia.
“Gadah dunya tapi atine ora kumantil marang dunya”. Itulah istilah yang digambarkan para santri dan masyarakat terhadap sifat zuhud mbah Abdullah. Kezuhudan mbah Abdullah membuat hidupnya sederhana.
“Di kalangan masyarakat, Mbah Abdulloh sering dikenal sebagai wali atau kiai. Namun beliau tidak mau dipanggil wali ataupun kiai. Beliau hanya ingin dipanggil mbah,” ungkap Saad salah satu santri.
Mbah Abdullah wafat pada Jum’at, 10 Romadhon 1985. Saat itu santri sedang sahur, sekitar jam empat pagi. Sebelum wafat ia berwasiat agar makamnya nanti tidak dikijing dan bila melaksanakan haul baiknya mengkhatamkan Al-Qur’an.
KH Abdullah Hadziq bin Hasbullah Balekambang, Nalumsari, Jepara. Sosok ulama yang disebut-sebut Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan sebagai waliyullah alim-allamah tapi tetap selalu berpenampilan sederhana karena punya rutinitas pergi ke pasar secara mandiri, bertopi leken dan bercelana, dan naik dokar demi memenuhi kebutuhan rumah tangga dan santri-santrinya.
Mbah Dullah -panggilan akrab KH Abdullah Hadziq-, kata Habib Luthfi, pernah ngaji selama 12 tahun di Makkah kepada Syaikh Mahfud at-Tarmasi, Syeikh Dimyathi dan juga Syeikh Nahrawi al-Makkiy, mursyid thariqah Syadziliyah, dan ulama masyhur tanah Haramain lainnya.
Oleh Habib Luthfi, selain Mbah Malik (Purwokerto), Mbah Dullah Balekambang adalah sosok guru yang dianggap sebagai bapak, mengingat di masa kecilnya, Habib Luthfi pernah “dimomong ngaji” Mbah Dullah selama dua tahun di Pesantren Balekambang dari tahun 1961, saat usia 13 tahun. Meski begitu, Habib Luthfi adalah mursyid thariqah Mbah Dullah. Kok bisa?
Ceritanya, ketika hendak bai’at thariqah kepada Syeikh Nahrawi al-Makky dan Syeikh Mahfudz at-Tarmasiy, Mbah Dullah tidak langsung mendapatkan ijin. Oleh Syeikh Nahrawi, Mbah Dullah diberitahu bahwa mursyid beliau saat itu belum lahir dan masih dalam kandungan ibunda.
“Mursyidmu nanti adalah cucu dari Habib Hasyim bin Umar bin Thaha bin Yahya Pekalongan. Carilah,” demikian kata Syeikh Nahrawi.
Karena diperintah guru, Mbah Dullah Balekambang akhirnya mencari calon mursyidnya tersebut, dan bersilaturrahim dengan Habib Hasyim. Setelah mengutarakan tujuan dan tujuan Mbah Dullah kepada Habib Hasyim, maka dipanggil lah putra-putranya untuk ditanya; siapa yang istrinya mengandung, ternyata Habib Ali bin Yahya, yang di kemudian hari, -setelah lahir seorang putra dari istrinya-, diberi nama Muhammad Luthfi.
Saat bertemu itulah, Mbah Dullah meminta kepada Habib Ali bin Yahya agar ketika sudah mukallaf Habib Luthfi muda dipondokkan di Pesantren Balekambang meski sebentar. Dan setelah Habib Luthfi memasuki usia baligh, Mbah Dullah pun benar-benar berbai’at thariqah kepada Habib Luthfi.
Cerita guru yang juga murid – murid yang juga guru ini, sudah populer di masyarakat pesantren, sebagaimana hubungan guru-murid antara KH Arwani Amin (Kudus), KH Ma’mun Ahmad (Kudus) dan KH Hasan Askari (Mbah Mangli, Magelang). Teladan luar biasa tapi sudah biasa terjadi di kalangan Nahdliyyin di manapun.
Yik Luthfi adalah panggilan keseharian untuk Habib Luthfi sebagai “putra” kinasih Mbah Dullah. Santri lain dipanggil dengan sebutan yang futuristik. Jika besok santrinya jadi kiai, Mbah Dullah memanggilnya dengan sebutan “kiai”. Jika kelak jadi pengusaha, dipanggil “bos”. Semua santri Mbah Dullah dipanggil secara terhormat dan mbungahke, minimal sebutan disebut dengan “kang”.
Habib Luthfi mengenang, Mbah Dullah adalah sosok kiai yang “open dan telaten” kepada para santrinya. Jika ada waktu senggang, para santri dibuat senang dengan diajak mayoran (makan-makan) hingga menjadi sebuah tradisi yang ditunggu-tunggu para santri Pesantren Balekambang.
Jika ada kabar Mbah Dullah akan mayoran, para santri langsung menyiapkan alat untuk memancing ikan Lele, Bethik, Kuthuk, dan jenis ikan lain yang ada di sungai belakang pesantren.
Mbah Dullah paling suka jika santrinya gembira. Misalnya, saat Habib Luthfi muda ketahuan reflek menari karena kenthongan Subuh ditabuh lebih lama saat Ramadhan, Mbah Dullah justru senang dan tertawa lepas, tidak bermuram. “Baru kali ini saya melihat guruku tertawa lepas,” terang Habib Luthfi.
NU dan Jimat Pengaman Logistik
Pada masa kolonial dan awal kemerdekaan, Mbah Dullah juga dikenal sebagai penggerak pejuang NU di tahun-tahun awal berdirinya. Saat meletus perang 10 November 1945 (pasca Fatwa Resolusi Jihad 22 Oktober), Mbah Dullah ditunjuk gurunya, Rais Akbar NU KH Hasyim Asy’ari (Mbah Hasyim) sebagai penyedia dan pengaman logistik para pejuang yang ada di Surabaya.
Agar pengiriman logistik aman sampai tujuan dan aman sentosa, Mbah Dullah dibekali Mbah Hasyim sebuah jimat yang membuat tentara NICA pimpinan Inggris terbutakan matanya. Pengabdian kepada NU sebagai penggerak inilah yang membuat pengaruh Mbah Dullah di Jepara kala itu makin disegani.
Jimat Mbah Hasyim mengingatkan sebuah tongkat komando dari KH Asnawi Bendan Kudus (pendiri NU), yang pernah diberikan kepada Mbah Dullah dan hingga kini masih tersimpan rapi dan diserahkan kepada Gus Yatun.
Tongkat itu adalah saksi sejarah saat Mbah Asnawi berjuang bersama Mbah Hasyim menghadapi momentum tersulit di masa-masa awal NU berdiri. Jika pendiri NU Mbah Hasyim diwasiati tongkat oleh Syaichona Cholil Bangkalan (disimpan oleh PBNU), maka Mbah Dullah diserahi tongkat komando Mbah Asnawi Kudus, yang konon punya keramat bisa digunakan sebagai titik memulai “membersihkan” jagad angkara murka yang meluas tak terkendali.
Jadi, selain ulama yang alim allamah, Mbah Dullah adalah pejuang, yang dalam buku sejarah lokal daerah pun, belum/tidak tertulis kiprah besarnya. Padahal bukti masih bisa dideteksi jika mau.
Meski begitu, tampilan kesederhanaan beliaulah yang membuat orang segan dan hormat. Kepada kiai lain, baik yang seusia atau lebih senior, beliau selalu memosisikan diri dengan adab dan tawadlu’. Termasuk kepada KH Arwani Amin Kudus.
Walaupun sudah jadi kiai besar dan berpengaruh di Jepara, tanpa perantara, Mbah Dullah datang langsung ke Kiai Arwani ketika memondokkan putranya, Hayatun. “Kang, anakku tak titipke supaya bisa ikut bantu nyapu-nyapu atau ngepel lantai pondok. Aku pasrah,” begitu pinta Mbah Dullah ke Kiai Arwani kala itu. Pilihan kalimatnya sangat tawadlu’.
Karena sudah dipasrahkan ngaji Al-Qur’an, bibarkatillah, Gus Hayatun muda mampu merampungkan hafalan Al-Qur’an 30 juz dalam waktu tujuh bulan saja. Bisa begitu karena selama ngaji di Kudus, ia mengisi 24 jam full waktunya hanya untuk nderes ngaji Al-Qur’an. Tidur sekitar 1-2 jam. Tapi, sebelum “digeret” ngaji Al-Qur’an ke Kudus, Mbah Dullah punya cara sendiri mendidik Gus Hayatun kecil yang dikenal jadzab.
Tiap ngaji bandongan bersama santri di Balekambang, Mbah Dullah selalu memanggil putranya tersebut untuk mimijat. Sambil ngaji, Gus Hayatun diperintah memijat pundak Mbah Dullah yang tiduran/duduk membaca kitab kuning. Jika hendak ijin selesai memijat pundak kiri, Mbah Dullah minta dipijat lagi pundak kanannya. Begitu terus sampai ngaji bandongan selesai, setiap hari. Alhasil, saat dipaksa memijat itulah, Gus Hayatun kecil otomatis mendengar langsung isi kitab yang dibaca Mbah Dullah.
Meski nakal, untuk urusan memijat ini, Gus Hayatun kecil tidak berani menolak perintah abahnya. Praktik birrul walidain inilah yang menarik KH Hasan Askari (Mbah Mangli, Magelang –asli Jambu, Mlonggo, Jepara) untuk menjadikan Gus Hayatun kecil sebagai anak angkat. Selama tujuh hari, Gus Hayatun kecil yang belum khitan, tinggal se-ndalem bersama Mbah Mangli, atas persetujuan Mbah Dullah tentunya.
Sepulang dari Mbah Mangli di Magelang, Gus Hayatun muda dikhitankan oleh Mbah Dullah. Peralihan kepada usia baligh inilah, KH Muhammadun Pondoan, Tayu, Pati, menggantikan peran Mbah Mangli sebagai ayah, menemani Gus Hayatun selama semalam penuh di Balekambang untuk didoakan.
Karakter “open dan telaten”, suka mayoran, rendah hati kepada yang lebih sepuh, dan taat pada guru itulah, yang agaknya ditiru dan diittiba’i oleh Gus Hayatun Alhafidz dari abahnya, Mbah Dullah, saat menjadi ketua NU Jepara hingga dinilai mampu menggerakkan NU, menyediakan dan mengamankan logistik para pejuang NU, sebagaimana Mbah Dullah dulu melakukan hal yang sama saat Resolusi Jihad 22 Oktober 1945.
Wallahu A’lam Bishawab
Lahumul Fatihah..
Sumber: M Abdullah Badri (Wakil Sekretaris PC LTN NU Jepara)
Foto: Makam KH Abdullah Hadziq