Diskusi,  Fiqih

“Masjid Berjalan dalam Kacamata Fikih: Masjid atau hanya tempat sholat?”

Perkembangan teknologi tak hanya menyentuh urusan duniawi, tetapi juga membuka peluang untuk mendekatkan manusia pada nilai-nilai rohani. Salah satu inovasi menarik yang menjadi perhatian umat Islam adalah hadirnya “masjid berjalan”—truk kontainer yang dimodifikasi menjadi ruang ibadah.

Masjid berjalan ini pertama kali diperkenalkan di Jepang, tepatnya di Stadion Toyota, kota Aichi. Ruangan dalam truk tersebut memiliki luas sekitar 48 meter persegi dan mampu menampung hingga 50 orang jamaah. Di dalamnya tersedia berbagai fasilitas pendukung ibadah seperti tempat wudu dan penyejuk udara. Tujuan dari inovasi ini sangat mulia: memudahkan umat Muslim dalam menunaikan salat di mana pun mereka berada, terutama saat menghadiri acara-acara internasional yang minim akses ke masjid permanen.

Namun, pertanyaan penting pun muncul: apakah truk yang difungsikan sebagai masjid ini benar-benar bisa disebut masjid dalam pandangan syariat?

Secara fungsi, masjid berjalan memang mampu menggantikan peran masjid sebagai tempat salat. Akan tetapi, dalam tinjauan fiqih, statusnya belum dapat dikategorikan sebagai masjid syar’i. Dalam Islam, suatu tempat baru bisa disebut masjid jika telah memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu sudah diwakafkan secara sah dan memiliki sifat tetap (tsabit) di atas tanah. Sedangkan bangunan yang bersifat sementara dan berpindah-pindah, seperti truk, kapal, atau pesawat, hanya dapat disebut sebagai tempat salat, bukan masjid dalam pengertian fiqih.  (Mughnil Muhtaj hal. 534)

Seorang pakar fiqih Indonesia, Syekh Ja’far Shodiq, dalam kitabnya Risalatul Amajid fi Ahkamil Masajid, pernah menyinggung persoalan ini. Beliau mengutip pendapat para ulama fiqih terdahulu:

وأما المنقول كسجادة وحصير وفراش فلا يصح وقفه مسجدا لأن شرطه الثبات إلا إن أثبته بنحو تسميره ووقفه فيصح وقفيته مسجدا كما أفتى به الرملي ذكره الشرواني ثم ذكر أن النووي رحمه الله قال ولا تزول وقفيتها بعد زوال سمرها لأن الوقفية إذا تثبت لا تزول ولكن في باب الإعتكاف إن سم نقل في حواشي التحفة في باب الوقف عن فتاوى السيوطي أنه إذا أزيلت زال حكم الوقف

Artinya: “Adapun benda yang bisa dipindah-pindah seperti sajadah, tikar, atau kasur, maka tidak sah dijadikan wakaf sebagai masjid, karena syarat wakaf masjid adalah harus tetap (tidak berpindah-pindah). Kecuali jika benda itu dipasang secara permanen, misalnya dengan dipaku dan kemudian diwakafkan, maka sah dihukumi sebagai wakaf masjid. Hal ini difatwakan oleh Imam Ar-Ramli dan disebutkan juga oleh Imam Asy-Syarwani. Kemudian juga disebutkan bahwa Imam Nawawi rahimahullah berkata, ‘jika benda itu sudah menjadi wakaf, maka status wakafnya tidak hilang meskipun paku atau hal yang menetapkannya dilepas, karena jika sesuatu sudah sah menjadi wakaf, maka tidak bisa dibatalkan dengan sendirinya’. Namun dalam bab i’tikaf (berdiam diri di masjid), disebutkan dalam Hasyiyah Tuhfah yang mengutip fatwa Imam As-Suyuthi, bahwa jika benda tersebut dipindahkan, maka seketika status wakafnya hilang.”

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dapat dipahami bahwa masjid berjalan tetaplah luar biasa secara fungsional, terutama dalam membantu mobilitas umat Islam dalam beribadah. Namun demikian, status hukumnya tidak sama dengan masjid dalam pengertian syar’i. Masjid berjalan tidak memenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk dijadikan tempat i’tikaf, thawaf, dan ibadah khusus lain yang memang mensyaratkan pelaksanaannya di dalam masjid secara tetap dan sah secara wakaf.

Dengan kata lain, masjid berjalan adalah solusi praktis dan inovatif untuk kebutuhan salat di lapangan, namun belum bisa menggantikan posisi masjid dalam berbagai ibadah yang memiliki tuntutan hukum dan tempat yang lebih spesifik.

Oleh: Tim Lajnah Bahtsul Masa’il Balekambang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *