A. Pengertian Majaz Al Hadits

Majaz secara etimologis berasal dari kata jaza al syai’a yajuzuhu (seseorang telah melewati sesuatu, maka dia terlewatinya). Yakni kata yang di alihkan dari makna aslinya kemudian digunakan untuk menunjukkan makna yang lain yang mempunyai kesesuaian dari makna asalnya.

Sedangkan secara terminologis, al jahiz mendefinisikan majaz adalah sebagai kebalikan dari ungkapan hakiki yaitu sebagaimana pernyatannya:

“majaz adalah lafadz yang diucapkan tidak sebagaimana asalnya karena adanya perluasan makna dari ahli bahasa”.

Maka definisi yang diberikan oleh al jahiz diatas memberikan konsekuensi bahwa dalam majaz berlaku adanya penambahan dan perluasan makna, sejalan dengan al jahiz ibnu jinni juga mendefinisikan majaz sebagai kebalikan dari ungkapan hakiki dalam arti bahwa ungkapan hakiki adalah ungkapan yang pokok sedangkan ungkapan majazi adalah cabang darinya.

Sedangkan pengertian majaz di kalangan lughowiyyin dan balaghiyyin lebih banyak variasi dan macam- macam majaz. Karena mereka membagi pengertian majaz berdasarkan alaqohnya ketika mengalihkan makna hakiki ke makna majazi sebagaimana ditegaskan oleh ahmad al hasyimi adalah:

“lafadz yang diucapkan tidak sebagaimana asalnya dalam percakapan karena adanya alaqoh (keterkaitan makna) serta qorinah (indikator) yang menghalangi untuk dimaknai sebagaimana makna aslinya”

Dari beberapa definisi mengenai majaz di atas dapat ditarik pengertian bahwa majaz adalah penggunaan kata tidak pada makna aslinya karena adanya alasan yang menyertainya

Sedangkan secara sederhana dapat dipahami hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada nabi baik berupa ucapan, perbuatan, sifat dan ketetapan.

Dari kedua kata ini kemudian dijadikan idhofah yaitu majaz al hadits yang dapat didefinisikan bahwa majaz hadits atau ilmu majaz al hadits adalah ilmu yang mengkaji tentang redaksi hadits yang tidak digunakan sebagaimana aslinya karena adanya alasan yang mengharuskan dimaknai tidak sebagaimana makna aslinya.

B. Sebab terjadinya majaz al-Hadits

Bahasa yang digunakan dalam hadits nabi jelas adalah bahasa arab yang dalam bahasa arab itu sendiri banyak terdapat ungkapan majaz, bahkan tidak hanya bahasa arab namun bahasa apa saja banyak menggunakan ungkapan majaz, maka dalam mengalihkan makna hakiki ke makna majazi dalam hadits nabi sebetulnya tidak bisa di lepaskan dari persoalan yang menjadi sebab terjadinya majaz dalam bahasa arab itu sendiri.

Sebagaimana dinyatakan oleh ibnu jinny secara sederhana ada 3 alasan mengalihkan makna hakiki ke makna majazi yakni

-Adanya ittisa’ (perluasan makna).

-Adanya ta’kid (penguatan makna ).

-Adanya tasybih (penyerupaan makna).

Sedangkan ahli bahasa menjelaskan secara global sebab terjadinya pengalihan makna hakiki ke makna majazi. Sebab-sebab tersebut antara lain :

  • Jika diungkapkan dengan ungkapan hakiki terasa berat karena mengandung konotasi yang berlebihan sehingga perlu digunakan kata-kata yang lebih ringan untuk diucapkan.
  • Penggunaan ungkapan hakiki mempunyai konotasi yang rendah dan tidak sopan.
  • Penggunaan majaz adalah sebuah keniscayaan terjadinya ungkapan yang indah yang tidak dapat diungkapkan dalam bentuk hakiki seperti dalam syair-syair.
  • Penggunaan ungkapan majaz adalah sebagai bentuk penghormatan terhadap lawan bicara.

Ibrahim anis juga telah menambahkan arti penting sebab terjadinya majaz antara lain :

  • Penjelasan makna, penggunaan ungkapan majaz merupakan bentuk penjelasn makna yang abstrak menjadi makna dalam bentuk yang konkret, sehingga orang yang mendengarkannya mudah menangkap dan memahami makna yang disampaikan dalam bentuk majaz. Seperti kata “rojulun katsrotu ar Romad” (orang yang banyak abunya ). Untuk menggambarkan “orang yang mulia” yang masih abstrak kemudian dijelaskan dengan kata kata yang konkret yang masih mempunyai keterkaitan dengan kata katsrotu ar Romad, dengan adanya keterkaitan bahwa orang yang banyak abunya berarti dia banyak masak dan orang yang banyak masak dia adalah orang yang banyak menjamu tamu. Dengan banyak menjamu tamu maka dia termasuk orang yang mulia.
  • Penggunaan majaz merupakan peningkatan intelektualitas manusia yang terus berkembang, semakin berkembang intelektual manusia maka hal-hal yang masih bersifat abstrak tidak bisa menggambarkan makna yang lebih jelas, sehingga selalu menuntut adanya perluasan makna.

Berdasarkan pemaparan sebab-sebab terjadinya majaz diatas adalah suatu bukti bahwa terjadinya majaz dalam bahasa adalah suatu keniscayaan. Begitu pula dengan hadist nabi bahasa yang digunakan adalah bahasa arab yang banyak mengandung majaz,maka sebab-sebab terjadinya majaz dalam bahasa adalah sama halnya dengan yang terjadi terhadap hadits nabi yang juga menggunakan bahasa arab.

Nabi Muhammad SAW sebagai orang yang paling fasih dalam bertutur, orang yang jelas dalam berargumen, lahjahnya yang jelas, serta mempunyai gaya bicara yang mempunyai nilai sastra yang tinggi, maka tidak heran jika nabi menggunakan ungkapan-ungkapan jawami’ alkalim maupun ungkapan simbolik (ramzi),[7]  yang didalamnya banyak mengandung ungkapan-ungkapan dalam hadits dengan siapa beliau berbicara, dalam arti beliaupun menyesuaikan dengan kemampuan akal mukhotob (sahabat) sehingga mukhotob pun dapat memahami apa yang disampaikan oleh nabi. Jika diantara sahabat ada yang tidak faham adalah karena perbedaan daya tangkap diantara meraka bukan karena nabi yang salah menyampaikan ungkapan beliau.

Kegunaan ungkapan majazi dalam hadits yang disampaikan nabi juga karena nabi sangat faham dengan bahasa arab itu sendiri. Dalam sejarah dikatakan bahwa bahasa arab adalah bahasa yang yang sangat erat kaitannya dengan syi’ir-syi’ir pra islam, sedangkan majaz sendiri adalah bagian sulit dilepaskan dalam mengungkapkan gaya bahasa dalam syi’ir, dalam artian syi’ir tanpa adanya majaz tidak akan terasa keindahan bahasanya karena majaz adalah sebuah tasbih dan bentuk simbol-simbol yang dipinjam untuk mengungkapkan ungkapan hakiki dengan bentuk tertentu dalam syi’ir arab melihat hal ini maka nabi sebetulnya faham sekali bahwa ungkapan nabi yang mengandung majaz adalah bukan hal yang asing bagi orang arab.

C. Metode Ilmu Majaz Al Hadist

Seperti metode yang telah digunakan oleh Yusuf Al Qardawi dalam memahami Majaz Al-Hadis adalah metode Takwil, yaitu metode untuk mengalihkan makna kata, dari makna  haqiqi ke makna majazi atau membedakan antara matan hadist yang bermakna haqiqi dan yang bermakna majaz (Al-Tafriq Baina Al-Haqiqah Wa Al-Majaz). Jika pada suatu hadist terdapat Qarinah yang mengharuskannya untuk dimaknai secara majazi maka hadis tersebut hendaknya dipahami secara majaz dan keluar dari makna hakikinya. Dengan kata lain, pengertian keluar dari makna hakiki pada makna majazi itu apabila terdapat suatu tanda/indikator yang menghalangi penyampaian makna hakiki berdasarkan alasan dalil naqli atau rasional.

Dalam metode pentakwilan ini ada beberapa ketentuan pemaknaan Majaz dalam memahami Hadist :

  • Dalam keadaan tertentu, makna majaz merupakan cara yang ditentukan, dengan ketentuan jika tidak ditafsirkan secara majaz pasti akan menyimpang dari makna yang dimaksud dan terjerumus pada kesalahan yang fatal.
  • Makna majaz sebagai solusi bagi hadistyang dilihat sulit untuk dipahami secara harfiyahnya dan kesulitan ini akan hilang bila hadist tersebut dimaknai dengan makna majazi.
  • Makna majaz sebagai bentuk tamsil dan penyerupaan (menggambarkan sesuatu yang abstrak dengan suatu yang konkrit) sebagai isyarat dari tingkat keharusan dari suatu anjuran maupun larangan.

Adapun Langkah-langkah metode pemahamannya  adalah :

  1. mengaitkan pentakwilan dengan Al-Qur’
  2. mengaitkan dengan hadis setema.
  3. mengaitkan dengan pendapat ulama.
  4. mengaitkan dengan pendekatan logika bahasa.

Jadi, meskipun telah banyak ulama’ yang sudah memberikan izin untuk memaknai hadis secara majazi namun tidak berarti bebas tanpa batas. Selama hadis bisa dipahami secara hakiki maka tidak boleh dimaknai secara majazi karena hal ini akan berakibat fatal.

D. Contoh Hadits

Hadits tentang Perbuatan Tuhan :

عَنْ أَنَسٍ – رضى الله عنه – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – يَرْوِيهِ عَنْ رَبِّهِ قَالَ « إِذَا تَقَرَّبَ الْعَبْدُ إِلَىَّ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا ، وَإِذَا تَقَرَّبَ مِنِّى ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ بَاعًا ، وَإِذَا أَتَانِى مَشْيًا أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً »

“Dari Anas R.A dari Nabi SAW. Tentang hadits yang diriwayatkan Nabi dari Allah, Allah berfirman: Jika seorang hamba mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekat kepadanya sehasta, dan jika dia mendekat kepadaku sehasta, Aku akan kepadanya sedepa, dan jika dia datang kepada-Ku sambil berjalan, Aku akan datang kepadanya sambil berlari”

            Syarif Rida menyatakan bahwa hadits di atas mengandung majaz, selanjutnya dia menyatakan:

“Yang dimaksud dari hadits diatas adalah perbuatan baik yang sedikit akan dibalas Alah dengan kebaikan yang lebih besar, hanya saja Nabi menggunakan kata “taqarrub” (mendekat) sebagai ungkapan yang berarti “memberikan pahala”, bukan sebagai makna aslinya, sehingga seakan-akan Tuhan “mendekat” orang yang berbuat sesuatu yang berpahala dengan cara menggunakan ungkapan majaz, dan perluasan makna. Berdasarkan hal ini maka setiap kata ‘taqarrub’ yang dinisbatkan kepada Allah tidak diartikan “mendekat” sebagaimana perbuatan fisik akan tetapi diartikan sebagai sifat kemurahan Tuhan terhadap hambanya dalam member pahala. Adapun bunyi hadits selanjutnya “dan barang siapa yang datang kepadaku dengan berjalan maka Aku akan mendatanginya dengan berlari” maksudnya adalah barang siapa yang berbuat taat kepada Allah walaupun dengan cara yang sangat lambat, maka Allah akan membalasnya dengan sangat cepat tanpa ditunda-tunda. Datang dengan berjalan adalah bentuk kiasan dari pekerjaan yang lambat, sedangkan datang dengan berlari adalah bentuk kiasan dari pekerjaan yang cepat, ungkapan majazi seperti ini memang sering digunakan Nabi untuk mengungkapkan Perbuatan Tuhan yang sangat agung terhadap hambanya, walaupun terkadang pahala yang dianugerahkan-Nya tidak harus datang sekali itu juga tapi terkadang ditunda atas kehendaknya”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *